METODE MUQORIN (KOMPARATIF) DALAM AL QURAN

Standar

BAB II

METODE MUQORIN (KOMPARATIF)

  1. A.    Pengertian Metode Muqorin

Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode ini. Dari berbagai literartur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif ialah: 1) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Alquran  yang memiliki kemiripan atau persamaan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2) membandingkan ayat Alquran dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran.[1] Dari definisi itu terlaihat jelas bahwa tafsir Alquran dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang sangat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat dengan hadis  serta membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.

Ruang Lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. Ini wilayah bahasan aspek pertama dan kedua sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab:

7

“Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara  ayat dengan ayat (juga antara ayat dengan hadis) biasanya mufassirnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus/masalah itu sendiri”.[2]

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits lafzhiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan antara kandungan makna dari masung-masing ayat yang diperbandingkan. Disamping itu juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan oleh ayat tersebut. Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, mufasir harus meninjau berbagai aspek yang menimbulkan perbedaan tersebut, seperti latar belakang turun ayat (Asbab al Nuzul) tidak sama, pemakaian kata dan susunannya didalam ayat berlainan dan tidak kurang pentingnya, konteks masing-masing ayat serta situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun, dan lain-lain.

Jadi, meskipun yang diperbandingkan ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadis, dalam proses penafsirannya mufasir perlu pula meninjau pendapat yang telah dikemukakan berkenaan dengan ayat itu.[3]

Adapun aspek ketiga perbandingan pendapat para mufasir mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) ayat maupun korelasi (munasabat) antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat dan sebagainya, seperti perbandingan yang dilakukan M. Quraish Shihab tentang kandungan (makna) ayat 151 surat al An’am dengan ayat 31 surat al Isra’, juga ayat 12 surat al A’raf dengan ayat 75 surat Shad. Selain itu juga diperbandingkannya berbagai korelasi antara ayat-ayat, surat-surat dan sebagainya yang sudah pernah dilakukan oleh al Biqa’I dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama-ulama tafsir yang lain seperti Ibn al Zubair, al Razi, al Naisaburi, al Suyuti dan Muhammad Rasyid Ridha.

  1. B.     Ciri-Ciri Metode Muqorin

Perbandingan adalah ciri utama bagi metode komparatif. Disinilah letak satu perbedaan yang prinsipal antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal itu disebabkan yang dijadikan bahan dalam memperbandingan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis adalah pendapat para ulama tersebut, bahkan pada aspek yang ketiga, sebagaimana telah disebutkan di atas, pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran perbandingan. Oleh karena itu , jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tak dapat disebut “metode komparatif”. Dalam konteks inilah al Farmawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif ialah: “menjelaskan ayat-ayat al-Qur’anyang berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir.[4]

Selanjutnya, langkah-langkah yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, lalu melacak beberapa pendapat para mufasir tentang ayat tersebut, baik yang klasik (salaf) maupun yang ditulis oleh ulama khalaf, serta membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan itu untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan mereka, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka, keahlian yang mereka kuasain dan lain sebagainya.[5] Dari uraian yang dikemukakan itu dapat diperoleh gambaran bahwa dari segi sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji dalam tafsir perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis dan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran.

Dengan menerapkan metode perbandingan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, maka dapat diketahui beragam kecendeungan dari para mufassir, aliran apa saja yang mempengaruhi mereka dalam menafsirkan Alquran: apakah Alu Sunnah, Muktazilah, Syi’ah, Khawarij dan sebaginya. Begitu pula dapat diketahui keahlian yang dimiliki oleh setiap mufassir. Kaum teolog misalnya cenderung menafsirkan Alquran sesuai dengan konsep-konsep teologis dan kaum sufi menurut ajaran tasawuf dan lainsebagainya, mereka akan diketahui kecenderungan apakah yang mempengaruhi penafsiran mereka.[6]

Penafsiran Alquran yang menggunakan metode komparatif mufassirnya berusaha membandingkan berbagai ragam penafsiran Alquran yang pernah dilakukan ulama-ulama sejak dulu sampai sekarang. Demikian akan terbuka cakrawala yang luas sekali dalam memahami ayat-ayat Alquran dan sekaligus memperlihatkan kepada manusia bahwa ayat-ayat Alquran mempuyai ruang lingkup dan jangakauan yang sangat jauh. Disamping itu, mereka dapat memilih diantara sekian banyak penafsiran : mana yang lebih dapat dipercaya dan mana pula yang jauh dari kebenaran; sehingga mereka memperoleh petunjuk untuk dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan mereka di dunia ini demi meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

  1. C.    Sejarah Munculnya Metode Muqorin

Sejarah munculnya metode ini, yaitu perbandingan unsur ayat dengan ayat sedikit banya sejalan dengan latar belakang yang memunculkan metode munasabat atau mungkin juga metode maudhu’i. hal ini berhubungan dengan dua sifat Alquran: pertama, Alquran sebagai suatu kitab yang mencakup segala sesuatu, meskipun hal ini ditafsirkan sebagai dasar-dasar segala sesuatu. Suatu kitab yang sangat singkat seperti Alquran, hanya mungkin bersifat lugas dan cermat dalam susunannya, dalam sistematika, penyusunan kalimat atau dalam pemilihan kata-kata. Kedua, Alquran juga sebagai suatu kitab yang bebas dari kontradiksi. Karena itu, setiap perbedaan redaksi tidak boleh mengimplikasikan perbedaan makna atau ia dimaksudkan untuk dua makna yang tidak saling terkait atau ia harus dibuktikan tidak saling bertentangan.[7]

Selanjutnya, sudah dikethui bersama bahwa hadis Shahih tidak boleh bertentangan dengan ayat Alquran, karena hadis adalah ucapan Nabi yang tidak keluar karena nafsunya namun merupakan firman Tuhan yang di wahyukan. Hanya saja, dalam kasus ini pembandingan secara tuntas sulit dilakukan mengingat masih luasnya ruang bagi penolakan terhadap hadis itu sendiri. Menurut M. Yudhie Haryono bahwa verifikasi hadis dengan Alquran bukanlah merupakan tujuan metode ini, betapapun prinsip verifikasi ini dibenarkan. Dalam hal ini tentu saja tidak ada pembandingan kedua unsur dari segi redaksinya, karena dua sebab. Pertama, ayat Alquran adalah kalam Allah, sementara hadis adalah ucapan Rasulullah. Kedua, sebagian besar hadis diriwayatkan dengan makna, bukan redaksi.[8]

  1. D.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqorin
  2. Kelebihan
    1. Memberikan wawasan penafsiran yang lebih luas pada para pembaca bila dibandingkan dengan metode lain. Di dalam penafsiran dengan metode ini terlihat bahwa satu ayat Alquran dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufasirnya. Dengan demikian, terasa bahwa Alquran  itu teramat luas dan dapat menampung berbagai ide dan pendapat.
    2. Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran Alquran bukan bagi para pemula.
    3. Dengan menggunakan metode komparatif, maka mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Dengan demikian penasiran yang diberikannya lebih terjamin kebenarannya dan lebih dapat dipercaya.[9]
    4. Kekurangan
      1. Penafsiran yang menggunakan metode komparatif tidak dapat diberikan pada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal itu disebabkan pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
      2. Metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh ditengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan  perbandingan daripada pemecahan masalah.
      3. Metode Komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa itu tak perlu timbul bila mufasirnya kreatif.[10]

BAB III

PENGULANGAN REDAKSI DALAM ALQURAN

  1. A.    Defenisi al Tikrar fi Alquran

Kata al Tikrar ( التكرار) Adalah masdar dari kata kerja “كرر” yang merupakan jaringan kata dari huruf ك – ر – ر. Secara etimologi berarti mengulang atau mengembalikan sesuatu berulangkali.[1]

Adapun menurut istilah al Tikrar berarti”اعادة اللفظ او مرادفه لتقرير المعنى” mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk mengatur (taqrir) makna. selain itu, ada juga yang memaknai al Tikrar dengan”ذكر الشيء مرتين فصاعدا”menyebutkan sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah makna secara berulang.[2]

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al Tikrar fi Alquran adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam Alquran dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu. Al Tikrar (pengulangan) dibagi menjadi dua macam:

  1. Tikrar al Lafdzi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam Alquran baik berupa huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan ayatnya.

14

 

  1. Contoh pengulangan huruf

Pengulangan huruf  ة pada akhir beberapa Surat al Nazi’at: 6-14.[3]

يوم ترجف الراجفة (6) تتبعها الرادفة (7) قلوب يومئذ واجفة (8) أبصارها خاشعة (9) يقولون أئنا لمردودون في الحافرة (10) أئذا كنا عظاما نخرة (11) قالوا تلك إذا كرة خاسرة (12) فإنما هي زجرة واحدة ( 13) فإذا هم بالساهرة (14). 

  1. Contoh pengulangan kata, dapat dilihat pada Surat al Fajr: 21-22:

كلا إذا دكت الأرض دكا دكا (21) وجاء ربك والملك صفا صفا (22)

  1. Contoh pengulangan ayat terdapat pada Surat al Rahman :

فبأي آلاء ربكما تكذبان.

Ayat tersebut berulang kurang lebih 30 kali dalam surat tersebut.

  1. Tikrar al Ma’nawi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur’an yang pengulangannya lebih di titik beratkan kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut. Misalnya Surat al Baqarah: 238:

حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين (238)

Al Shalat al Wusta yang disebut dalam ayat diatas adalah pengulangan makna dari kata al Shalawat sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai penekanan pada perintah memeliharanya.[4]

Selain seperti contoh diatas, bentuk tikrar seperti ini biasanya dapat dilihat ketika Alquran bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu, menggambarkan azab dan nikmat, janji dan ancaman dan lain sebagainya.

  1. B.     Kaidah-Kaidah al Tikrar Fi Alquran

Ada beberapa kaidah yang terkait dengan al Tikrar fi Alquran, sebagai berikut:

  1. Kaidah Pertama:

قد يرد التكرار لتعدد المتعلق.[5]

Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang terkait dengannya (maksud yang ingin disampaikan).

Adanya pengulangan beberapa ayat Alquran di surat dan tempat yang berbeda menyisakan pertanyaan dibenak para ilmuwan sekaligus bahan perdebatan dikalangan mereka. Hal ini bertolak belakang dari realitas metode Alquran sendiri yang dalam penjelasannya terkesan singkat padat dalam mendeskripsikan sesuatu. Oleh karena itu, Alquran oleh sementara orang dinilai kacau dalam sistematikanya.[6]

Namun pertanyaan ini telah terjawab oleh para ilmuwan Islam, bahwa bentuk pengulangan dalam Alquran adalah bukan hal yang sia-sia dan tidak memiliki arti. Bahkan menurut mereka setiap lafal yang berulang tadi memiliki kaitan erat dengan lafal sebelumnya. Misalnya ayat-ayat dalam Surat al Rahman: 22-27.

يخرج منهما اللؤلؤ والمرجان (22) فبأي آلاء ربكما تكذبان (23) وله الجوار المنشآت في البحر كالأعلام (24) فبأي آلاء ربكما تكذبان (25) كل من عليها فان (26) ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام (27) فبأي آلاء ربكما تكذبان (28).

Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dan kepunyaannya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.  Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?.[7]

Dalam surat di atas ada ayat yang berulang lebih dari 30 kali yang kesemuanya menuntut adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur manusia atas berbagai nikmat Allah. Jika dilihat, tiap pengulangan ayat ini didahului dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah berikan kepada hambanya. jenis nikmat inipun berbeda-beda, maka setiap pengulangan ayat yang dimaksud, terkait erat dengan satu jenis nikmat. Dan ketika ayat tersebut berulang kembali, maka kembali kepada nikmat lain yang disebut sebelumnya.[8] Inilah yang dimaksud oleh kaidah, bahwa terkadang pengulangan lafal karena banyaknya hal yang terkait dengannya.

Contoh lain bisa dilihat dalam Surat al Mursalat: 19.

ويل يومئذ للمكذبين (19).

Dalam Surat tersebut pada lafal ويل يومئذ للمكذبين berulang sampai sepuluh kali. Hal ini dikarenakan Allah swt menyebutkan kisah yang berbeda pula. Setiap kisah diikuti oleh lafal tersebut yang menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang terkait dengan kisah sebelumnya.[9]

  1. Kaidah Kedua:

لم يقع في كتاب الله تكراربين متجورين.

Tidak terjadi pengulangan antara dua hal yang terdekat dalam kitabullah.

Maksud dari kata “mutajawirain” dalam kaidah ini adalah pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa fashil diantara keduanya.[10] Misalnya lafal “basmalah” dengan Surat al Fatihah: 3.

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ibn Jarir mengatakan bahwa kaidah ini justru nerupakan hujjah terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa basmalah merupakan bagian dari surat al Fatihah, karena jika demikian, maka dalam Alquran terjadi pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa adanya pemisah yang maknanya dengan makna kedua ayat yang berulang tersebut.

Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa ayat 2 dari surat al Fatihah:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Adalah fashl (pemisah) antara kedua ayat tersebut, maka hal ini dibantah oleh para ahli ta’wil dengan alasan bahwa ayat “arrahmanirrahim” adalah ayat yang diakhirkan lafalnya tapi ditaqdimkan maknanya. Makna secara utuhnya adalah:

الحمد الله الرحمن الرحيم رب العا لمين ملك يوم الدين.

Dari contoh diatas, maka benarlah kaidah ini, bahwa dalam Alquran tidak ada pengulangan yang saling berdekatan.

 

 

  1. Kaidah Ketiga:

لايخالف بين الألفاظ إلا لإختلاف المعاني .[11]

Tidak ada perbedaan lafal kecuali adanya perbedaan makna.

Contoh aplikasinya Firman Allah. dalam Surat al Kafirun: 2-4.

لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ [2] وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ [3] وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ [4]

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.[12]

Lafal لآ أعبد ما تعبدون sepintas tidak berdeda dengan ولآ أنا عابد ما عبدتم, Tapi pada hakikatnya memiliki perbedaan makna yang mendalam. Lafal   لآ أعبد ما تعبدون  yang menggunakan betuk mudhari’  mengandung arti bahwa nabi Muhammad saw tidak menyembah berhala pada waktu tersebut dan akan datang.

Adapun lafal ولآ أنا عابد ما عبدتم dengan shighah madhi mengandung penegasian fi’il pada waktu lampau. Seperti telah diketahui, bahwa sebelum kedatangan islam kaum musyrikin menganut paham politheisme atau menyembah banyak tuhan. Oleh karena itu lafal ini menegasikan nabi Muhammad menyembah berhala-berhala yang telah lebih dulu mereka sembah.[13]

Itulah yang dimaksud oleh kaidah ini, tidak ada perbedaan lafal kecuali terdapat perbedaan makna didalamnya. Kedua lafal ini mempertegas unsur kemustahilan-dulu, selalu dan selamanya-Muhammad tidak akan menyembah tuhan kaum Quraiys (berhala).[14] Penyebutan salah satu lafal saja tidak bisa mencakup semua makna tersebut.

Disisi lain, ungkapan dengan bentuk ما هوبفاعل هذا lebih tinggi maknanya jika dibandingkan dengan ungkapan مايفعله, Karena ungkapan yang pertama benar-benar menegasikan adanya kemungkinan terjadinya fi’il atau perbuatan, berbeda dengan ungkapan yang kedua.

  1. Kaidah Keempat:

العرب تكرر الشيء في الإستفهام إستبعادا له .

Kaum Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil terjadinya hal tersebut.

Sudah menjadi kebiasaan di kalangan bangsa arab dalam menyampaikan suatu hal yang mustahil atau kemungkinan kecil akan terjadi pada diri seseorang. Maka bangsa arab mempergunakan bentuk ( إستفهام) Pertanyaan tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung. Maka dipergunakanlah pengulangan guna menolak dan menjauhkan terjadinya hal itu. Misalnya jika si-A kecil kemungkinan atau mustahil untuk pergi berperang, maka dikatakan kepadanya ( أنت تجاهد? أأنت تجاهد?). Pengulangan kalimat dalam bentuk istifham pada contoh tersebut untuk menunjukkan mustahil terjadinya fi’il dari fa’il. [15]

Hal ini seperti apa yang telah dicontohkan dalam Surat alMu’minun: 35.

أيعدكم أنكم إذا متم وكنتم ترابا وعظاما أنكم مخرجون (35)

Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?.[16]

Kalimat “ايعدكم انكم” kemudian diikuti oleh kalimat “انكم مخرجون” mengandung arti mustahilnya kebangkitan setelah kematian. Ayat ini merupakan jawaban dari pengingkaran orang-orang kafir terhadap adanya hari akhir.

  1. Kaidah Kelima.

التكرار يدل علي الإعتناء .

Pengulangan menunjukkan perhatian pada hal tersebut.

Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa sesuatu yang penting sering disebut-sebut bahkan ditegaskan berulangkali. Ini berarti setiap hal yang mengalami pengulangan berarti memiliki nilai tambah hingga membuatnya diperhatikan dan terus disebut-sebut.

Sebagai ilustrasi, buku yang bermutu dari segi penyampaian isi akan digemari dan diperhatikan para pembaca hingga berpengaruh pada jumlah pengulangan dalam pencetakannya guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembaca.

Sifat-sifat Allah yang kerap berulang kali dalam Alquran pada setiap surat menegaskan pentingnya untuk mengetahui dan kewajiban mengimaninya. Begitu juga dengan berbagai kisah umat terdahulu sebagai contoh yang sarat pesan dan hikmah.

Sebagai contoh dari aplikasi metode ini Surat alNaba’:1-5.

عم يتساءلون (1) عن النبإ العظيم (2) الذي هم فيه مختلفون (3) كلا سيعلمون (4) ثم كلا سيعلمون (5)

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar. yang mereka perselisihkan tentang ini.Sekali-kali tidak kelak mereka akan mengetahui,.Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui.[17]

Surat di atas bercerita tentang hari kiamat yang waktu terjadinya diperdebatkan banyak orang. Dalam surat tersebut lafal كلا سيعلمون diulang dua kali menunjukkan bahwa hal yang diperdebatkan tersebut benar-benar tidak akan pernah bisa diketahui tepatnya.

 

  1. Metode Keenam:

النكرة إذا تكررت دلت علي التعدد, بخلاف المعرفة[18].

Jika hal yang berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan maka ia menunjukkan beberapa, berbeda dengan hal yang bentuknya ma’rifah (khusus/diketahui).

Dalam metode bahasa arab, saat isim (kata benda) disebut dua kali atau berulang, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu: (1) keduanya adalah isim al Nakirah, (2) keduanya isim al Ma’rifah, (3) pertama isim al Nakirah dan kedua isim al Ma’rifah, serta (4) pertama isim al Ma’rifah  dan kedua isim al Nakirah.[19]

Untuk jenis yang disebut pertama (keduanya isim al Nakirah) maka isim kedua bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya menunjukkan pada hal yang berbeda.

Aplikasi jenis ini bisa dilihat dalam Surat alRum: 54.

الله الذي خلقكم من ضعف ثم جعل من بعد ضعف قوة ثم جعل من بعد قوة ضعفا وشيبة يخلق ما يشاء وهو العليم القدير (54).

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Kondisi lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Kondisi lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.

Lafal ضعفا pada ayat diatas terulang tiga kali dalam bentuk nakirah yang menurut metode bila terdapat dua isim al Nakirah yang terulang dua kali maka yang kedua pada hakekatnya bukanlah yang pertama. Dengan demikian, ketiga lafal dha’if  memiliki makna yang berbeda-beda.

Menurut al Qurthubi dalam tafsirnya al Jami’ li al Ahkam Alqu’an, arti ضعفا pertama adalah terbentuknya manusia dari نطفة ضعيفة sperma yang lemah dan hina, kemudian beranjak ke fase kedua yaitu حالة الضعيفة في الطفولة والصغر. (kondisi manusia yang lemah pada masa awal kelahiran), kemudian ditutup dengan fase ketiga yaitu ( حالة الضعيفة في الهرم والشيخوخة) “Kondisi lemah saat usia senja dan jompo”.[20]

Untuk jenis yang disebutkan kedua, (keduanya isim al Ma’rifah) sebaliknya, bahwa yang kedua pada hakekatnya adalah satu kecuali ada qarinah yang menghendaki makna lainnya, Seperti firman Allah dalam Surat al Fatihah: 6-7:

اهدنا الصراط المستقيم (6) صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين (7).

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Lafal shirath yang terdapat pada ayat di atas terulang dua kali, pertama dalam bentuk isim al Ma’rifah yang ditandai dengan memberi kata sandang alif lam الصراط dan kedua dalam bentuk ma’rifah ini, yang ditandai dengan urutan idhafah صراط الذين. maka isim yang disebut kedua sama dengan yang pertama.

Tipe pertama dan kedua inilah yang dimaksud oleh kaidah diatas. Adapun jenis ketiga ( isim al Nakirah pertama dan al Ma’rifah kedua) dalam hal ini keduanya memiliki arti yang sama, sebagai contoh firman Allah dalam Surat alMuzammil: 15-16.

إنا أرسلنا إليكم رسولا شاهدا عليكم كما أرسلنا إلى فرعون رسولا (15) فعصى فرعون الرسول فأخذناه أخذا وبيلا (16).

Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.

Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini Allah memberitahukan kepada kaum Quraish bahwa ia telah mengutus Muhammad untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Allah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul yaitu nabi Musa as. Kemudian mereka ingkar dan mendurhakai nabi Musa as dan membuat patung sapi menjadi sembahannya. Berdasarkan metode yang ketiga ini, maka yang dimaksud dengan rasul pada penyebutan kedua adalah sama dengan yang pertama, yaitu nabi musa. Jadi makna nabi pada ayat 15 yang diutus kepada Fir’aun adalah juga nabi yang diingkarinya pada ayat setelahnya.[21]

Sementara itu untuk jenis yang disebutkan terakhir (satu isim al Ma’rifah dan kedua isim al Nakirah ) maka kaidah yang berlaku tergantung pada indikatornya (qarinah). Olehnya itu ia terbagi jadi dua:

  1. Adakalanya indikator menunjukkan bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda. Hal ini seperti yang ditampilkan oleh firman Allah dalam Surat alRum: 55.

ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة كذلك كانوا يؤفكون (55).

Dan pada hari terjadinya kiamat, Bersumpahlah orang-orang yang berdosa; Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja) “. Seperti Demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).[22]

Lafal ( الساعة) Pada ayat diatas terulang dua kali, yang pertama menunjukkan isim al Ma’rifah sedang kedua menunjukkan isim al Nakirah.

Dalam kasus ini lafal yang disebutkan kedua pada hakikatnya bukanlah yang pertama. Pengertian ini dapat diketahui dari siyaq al Kalam dimana yang pertama berarti يوم الحساب (Hari kiamat) sedangkan yang kedua lebih terkait dengan waktu.

Di sisi lain ada indikator yang menyatakan bahwa keduanya adalah sama, misalnya firman Allah dalam Surat al Zumar: 27-28:

ولقد ضربنا للناس في هذا القرآن من كل مثل لعلهم يتذكرون (27) قرآنا عربيا غير ذي عوج لعلهم يتقون (28).

Sesungguhnya telah Kami buatkan untuk manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Adalah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) agar mereka bertakwa.[23]

Lafalh ( القرآن) Pada ayat di atas juga terulang sebanyak dua kali, yaitu pertama dalam bentuk isim al Ma`rifah dan yang kedua dalam bentuk isim al Nakirah. Dalam kasus ini yang dimaksud dengan al-Qur’an yang disebut kedua, hakikatnya sama dengan “Alquran” yang disebutkan pertama.[24]

  1. Metode Ketujuh:

اذا اتحد الشرط والجزاء لفظا دل على الفخامة. [25]

Jika ketetapan dan jawaban (keterangan) bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan keagungan (besarnya) hal tersebut.

Menurut penulis, maksud dari kaidah diatas kembali ke lafal yang dimaksud, jika terjadi pengulangan dengan lafal yang sama – penyebutan yang pertama sebagai kewajiban sedang penyebutan yang kedua sebagai jawaban (keterangan) dari ketetapan tersebut, maka itu menunjukkan besarnya hal yang dimaksud.

Misalnya Surat alHaqqah:1-2.

الحاقة (1) ما الحاقة (2)

Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu?.[26]

atau Surat alWaqi’ah (56): 27:

وأصحاب اليمين ما أصحاب اليمين (27)

Dan golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu.[27]

Dalam dua contoh diatas, lafal yang menjadi ketetapan (Mubtada’) dan keterangan (kabar) adalah lafal yang sama. Kata ” الحاقة “Diulang dan bukan menggunakan lafal”  ماهي?”, Pengulangan lafal Mubtada ‘ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini, menurut Ibn al-Dausy berarti sebagai pengagungan dan menggambarkan besarnya hal tersebut.[28]

  1. C.     Fungsi Tikrar

          Dalam bukunya alItqan Fi ‘Ulum Alquran,imam alSuyuthi menjelaskan fungsi dari penggunaan tikrardalam Alquran. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai Taqrir (penetapan)

Dikatakan, ucapan jika terulang berfungsi mengatur (الكلام إذا تكرر تقرر ). Diketahui bahwa Allah. telah memperingatkan manusia dengan mengulang kisah nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji dan ancaman. Maka pengulangan ini menjadi kewajiban yang terjadi.

Ini sejalan dengan fungsi dasar dari metode tikrarbahwa setiap kata yang terulang merupakan tiqrar (ketetapan) atas hal tersebut. sebagai contoh Allah berfirman Surat alAn’am: 19.

أئنكم لتشهدون أن مع الله آلهة أخرى قل لا أشهد قل إنما هو إله واحد وإنني بريء مما تشركون (19) 

Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah? “Katakanlah:” Aku tidak mengakui. “Katakanlah:” Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).[29]

Pengulangan jawaban dalam ayat tersebut merupakan penetapan kebenaran tidak adanya Tuhan (sekutu) selain Allah.

  1. Sebagai Ta’kid (penegasan) dan menuntut perhatian lebih (تأكيد وزيادة التنبيه)

Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan atau penekanan, bahkan menurut imam al Suyuthi penekanan dengan menggunakan pola tikrar setingkat lebih kuat dibanding dengan bentuk ta’kid .[30] Hal ini karena tikrar terkadang mengulang lafal yang sama, sehingga makna yang dimaksud lebih mengena.

Selain itu, Agar pembicaraan seseorang dapat diperhatikan secara maksimal maka dipakailah pengulangan tikrar agar si obyek yang ditemani berbicara memberikan perhatian lebih pada pembicaraan tadi.

Misalnya, Allah berfirman dalam Surat alMu’min: 38-39.

وقال الذي آمن يا قوم اتبعون أهدكم سبيل الرشاد (38) يا قوم إنما هذه الحياة الدنيا متاع وإن الآخرة هي دار القرار (39)

Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah Aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.[31]

Pengulangan kata ” yaqaumi” pada kedua ayat diatas yang maknanya saling terkait, berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.

  1. Pembaruan terhadap penyampaian yang telah lalu ( التجديد لعهده) [32]

Jika ditakutkan poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau terlupakan akibat terlalu panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu. maka, diulangilah untuk kedua kalinya guna menyegarkan kembali ingatan para pendengar.

Misalnya, dalam Alquran Allah berfirman dalam Surat alBaqarah: 89.

ولما جاءهم كتاب من عند الله مصدق لما معهم وكانوا من قبل يستفتحون على الذين كفروا فلما جاءهم ما عرفوا كفروا به فلعنة الله على الكافرين (89)

Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya . Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.[33]

Pengulangan kata فلما جاءهم pada ayat di atas untuk mengingatkan atau mengembalikan bahasan pada inti pembicaraan yang sebelumnya terpisah oleh penjelasan lain.

  1. Sebagai ta’zhim (menggambarkan agung dan besarnya satu hal)

Tentang hal ini, telah muncul dalam kaidah bahwa salah satu fungsi dari tikrar atau pengulangan adalah untuk menggambarkan besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat dalam Surat al Qari’ah: 1-3.

القارعة (1) ما القارعة (2) وما أدراك ما القارعة (3)

  1. D.    Analisis

Dari pemaparan di atas dapat diketahui betapa indah dan tingginya nilai sastra yang dikandung oleh Alquran, sehingga dalam redaksi yang mirip pun sangat diperhatikan karena memang belum tentu sama maksud dan tujuan dari pengulangan redaksi tersebut.

Dari pengertian, kaidah-kaidah yang terkait dengan pengulangan redaksi dalam Alquran dan fungsi dari pengulangan redaksi dalam Alquran tersebut, sedikit banyak dapat mengetahui bahwa mukjizat yang terkandung dalam Alquran tidak hanya seperti yang pertama kali Alquran itu diturunkan, kalau memang mau meneliti dan mengkaji masih banyak lagi hal-hal yang menjadikan Alquran itu sebagai mukjizat terbesar untuk Nabi Muhammad saw. salah satunya adalah degan adanya pengulangan redaksi yang begitu anggun.


[1] Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al Lughah, Juz. V (Beirut: Ittihad al Kitab al ‘Arabi, 2002 M), 126.

[2] Khalid ibn Kamiman al Sabt, Qawa’id al Tafsir, Jam’an wa Dirasah, Juz. I (al Mamlakah al ‘Arabiyah al Sa’udiyah: Dar ibn ‘Affan, 1997), 701.

[3] M. Quraish Shihab, Mukjizat al Qur’an Cet. II  (Bandung: Mizan, 2007), 123-124.

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,  Jil. I (Jakarta: Lentera Hati, 2009), 626-627.

[5] Khalid ibn Uthman al Sabt, Mukhtashar fi Qawa’id al Tafsir, Cet. I (Saudi Arabia: Dar ibn Affan, 1996), 22.

[6] Shihab, Mukjizat al Qur’an…, 239.

[7] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya   (Jakarta: CV. Kathoda, 2005), 774.

[8] Al-sabt, Mukhtashar fi Qawa’id…, 702.

[9] Ibid.

[10] Al-sabt, Mukhtashar fi Qawa’id…, 702.

[11] Ibid,… 704

[12] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 919.

[13] Al-sabt, Mukhtashar fi Qawa’id…, 705-706.

[14] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al Tabari, Tafsir al Tabari: Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ay al Qur’an, juz XVI. (Kairo: Markaz al Buhuts wa al Dirasat al ‘Arabiyyat al Islamiyyah, 2001), 661.

[15] Hafni Muhammad Syarf, Syarh badi` al Qur` an li `Ibn Abi al Isba` al Anshari, Cet. II (Kairo: Dar Nahdah al Misr: t.t), 151.

[16] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 478.

[17] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 864.

[18] Al-sabt, Mukhtashar fi Qawa’id…, 709.

[19] Nor Ichsan, Memahami Bahasa al Qur `an, Cet. I (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), 19.

[20] Muhammad bin Ahmad al Anshari al Qurthubi, Jami’ li Ahkam al Qur`an , Juz XI, (Kairo: Dar al Hadits, 2002), 369.

[21] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,  Jil. XIV (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 529.

[22] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 578.

[23] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 663.

[24] Al-sabt, Mukhtashar fi Qawa’id…, 714.

[25] Ibid.

[26] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 831.

[27] Ibid,… 780

[28] Muhammad ibn al Dausy , I’ra b al Qur’an wa Bayanihi , Juz. IX (Suriah: Dar al Irsyad, t. t), 426.

[29] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 174.

[30] Jalal al Din ‘Abd al Rahman al Shuyuthy, Al Itqan fi ‘Ulum al Qur’an, Juz. III (Kairo: Dar al Hadits, 2004), 170.

[31] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 667.

[32] al Shuyuthy, Al Itqan fi ‘Ulum…, 153.

[33] Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya,,, 17.


[1] Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 60.

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Alqur’an dengan Metode Maudhu’iy: Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alqur’an (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an, 1998), 34.

[3] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur’an, cet. Ke-2 (Pekanbaru: Fajar Harapan, 1993), 191.

[4] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta: Glagah, 1998), 55.

[5] Ibid., 56.

[6] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran,… 58.

[7] M. Yudhie haryono, Nalar Alquran (Jakarta: nalar, 2002), 164

[8] Ibid.

[9] Baidan, Metode Penafsiran,… 222

[10] Baidan, Metodologi Penafsiran,… 60.

Tinggalkan komentar