PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) DI LIPONSOS KEPUTIH KOTA SURABAYA Memenuhi Tugas UAS Study Penelitian Kualitatif Oleh: Muhammad Zainul Muttaqin B02210014

Standar

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

  1. A.    Latar Belakang Masalah

 

 

Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong Negara yang sedang maju  dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, gelandangan dan pengemis adalah masalah yang perlu harus di perhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar, terutama seperti Surabaya.

Berdasarkan data statistik pemerintahan Propinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa sekitar 4,2 juta KK penduduk Jawa Timur, hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian diperkirakan sekitar 15 juta orang atau 35 % penduduk Jawa Timur, dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sementara ada sekitar 750 orang gelandangan dan pengemis (gepeng) di liponsos keputih.[1] Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kota Surabaya saat ini semakin banyak dan sulit diatur, Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat.

Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif dikota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan took, pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk beristirahat, mereka tinggal tanpa memperdulikan norma sosial.

Hidup bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak memiliki kebebasan pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan dianggap hidup yang paling hina diperkotaan.[2] Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahankota. Dan tidak sedikit kasus kriminal yang dilakukan oleh mereka, seperti mencopet bahkan mencuri dan lain-lain.

Oleh sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya.

Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng), pemerintah mengutus Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk merazia semua gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada diseluruh sudut kota Surabaya, untuk  kemudian dijaring dan ditampung di Liponsos (lingkungan pondok sosial) Dinas Sosial Keputih Surabaya Hal ini bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka.

Liponsos merupakan tempat penampungan bagi para PMKS (Penyandang Malasah Kesejahteraan Sosial) yang terjaring oleh razia Satpol PP di seluruh kota Surabaya. Bangunan yang berdiri diatas lahan seluas 1,6 Ha tersebut terdiri atas beberapa ruangan, antara lain : 3 Barak , Barak A dihuni 371 orang laki-laki psikotic, Barak B dihuni 304 orang perempuan dengan psikotic, Barak C dihuni 74 orang pengemis dan gepeng. Saat ini jumlah PMKS (Penyandang Malasah Kesejahteraan Sosial)  yang tertampung di Liponsos sudah melebihi batas maksimal yaitu lebih dari 700 orang, padahal daya tampung Liponsos adalah hanya 300 orang. Hal ini tentu sangat memprihatinkan sekali, mereka harus saling berdesak-desakan dalam ruangan yang sempit itu.

Kondisi melebihi batas normal membuat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Liponsos Keputih sulit untuk mengatur tempat tidur untuk para pengemis dan gepeng. Akibatnya, banyak yang terpaksa tidur di tikar dan lantai, karena jumlah kasur yang tersedia terbatas. Kondisi yang memprihatinkan tersebut ditambah lagi dengan keadaan lingkungan liponsos yang sangat kumuh dan tidak layak huni khususnya pada bangunan untuk psikotic laki-laki dan perempuan. Bayangkan saja, mereka hidup dan beraktifitas dalam ruangan kumuh, berdesak-desakan dan bercampur baur dengan kotoran mereka sendiri, sungguh pemandangan yang sangat memprihatinkan.

 Di Liponsos ini juga memiliki pegawai-pegawai, antara lain tugasnya adalah memasak, membersihkan ruangan, memandikan, mengantar dan lain-lain, termasuk merawat orang sakit jiwa. Namun dengan jumlah pegawai yang tidak memadai di tambah lagi beban tugas yang harus mereka pikul,  menjadikan penanganan PMKS (Penyandang Malasah Kesejahteraan Sosial)  di Liponsos sangat tidak maksimal. Belum lagi perawatan orang sakit jiwa harus bersamaan dengan mengurus gelandangan dan pengemis (gepeng), orang jompo, dan anak jalanan (anjal) di tengah keterbatasan pemahaman tentang penanganan penyandang masalah sosial dan terbatasnya tenaga. Fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang bagaimana proses penanganan PMKS (Penyandang Malasah Kesejahteraan Sosial)  di Liponsos tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan tentang penanganan pada gelandangan dan pengemis (gepeng), saat ini jumlah gepeng di tempat penampungan Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial) Keputih Surabaya ada 184 orang, terdiri dari 138 laki-laki dan 46 perempuan, disana. Dalam upaya penanganannya pihak Dinas Sosial memberikan kegiatan keseharian kepada mereka, memberikan bimbingan moral serta membekali mereka yang masih produktif keterampilan untuk memperbaiki kehidupannya.[3]

  1. B.     Rumusan Masalah

Dari yang saya ceritakan diatas, maka saya membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi obyek pembahasan dalam tugas ini, yaitu :

  1. Bagaimana proses penanganan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang dilakukan oleh Liponsos Keputih Surabaya?
  2. Apa saja faktor pendorong dan penghambat penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Liponsos Keputih Surabaya?

 

 

 

 

 

  1. C.    Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Liponsos Keputih Surabaya.
  2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Liponsos Keputih Surabaya.
  3. Untuk mengetahui relevansi penanganan  gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas Sosial Keputih Surabaya dengan Dakwah pengembangan masyarakat Islam.
    1. D.    Metode Penelitian
      1. 1.      Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam proses pengolahan datanya, peneliti mengolah dengan mendeskripsikan data-data yang diperoleh di lapangan yang berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[4] Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mengamati serta menggambarkan bagaimana penanganan yang dilakukan oleh Liponsos Keputih Kota Surabaya. Terhadap gelandangan dan pengemis yang ada di penampungan Liponsos Keputih Surabaya.

  1. 2.      Subyek Penelitian

Subyek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para informan yang ditentukan peneliti berdasarkan teknik purposive, yaitu Penentuan sampel dilakukan dengan tujuan untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk mencari sumber data yang mantap dan lengkap. Mereka antara lain adalah:

ü  Sri Supatmi, pimpinan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas).

ü  Moh. Hisyam, bagian pembinaan.

ü  Sujiati, bendahara.

ü Parapegawai  Liponsos, serta gelandangan dan pengemis (gepeng) Liponsos Keputih yang sebelumnya sudah ditentukan oleh peneliti berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud seperti: pengetahuan dan pengalaman tentang kondisi alamiah subyek.

Keterangan-keterangan yang menjadi informasi tersebut, sebagai upaya merekonstruksi bagaimana seseorang atau suatu kelompok (keseluruhan), perlu dinyatakan secara jelas di dalam usulan atau rancangan penelitian.

 

  1. 3.      Lokasi

Lokasi penelitian ini adalah Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) yang ada di wilayah Dinas SosialkotaSurabaya, Jl. Keputih Tegal 32 Sukolilo –Surabaya.

 

  1. 4.      Jenis dan Sumber Data
    1. Jenis Data

ü  Data primer, adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Dalam penelitian ini diperoleh dari sumber asli yang memberikan informasi atau data yang berkaitan dengan Penanganan Gelandangan dan pengemis di Liponsos Keputih oleh Dinas sosial kota Surabaya. Sumber primer ini peneliti peroleh dari para informan di Dinas sosial kota Surabaya, yaitu Sri supatmi, selaku pimpinan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas), Moh. Hisyam selaku staff pembinaan di Liponsos, dan Sujiati bagian bendahara di UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) tersebut.

ü  Data sekunder, yakni sumber data yang diperoleh dari bahan bacaan atau referensi yang menunjang dalam penelitian ini. Data sekunder ini berupa buku – buku, foto, dokumentasi program, serta jurnal-jurnal yang berhubungan dengan Liponsos Keputih Surabaya.

 

 

 

  1. 5.      Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah :

  1. Interview (wawancara)

Wawancara sebenarnya merupakan angket secara lisan, karena penulis mengemukakan informasinya secara lisan dalam hubungan tatap muka untuk memperoleh jawaban (Tanya-jawab). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara mendalam.

Metode ini peneliti gunakan sebagai langkah awal dari penelitian dan juga sebagai salah satu teknik pengumpulan data atau informasi dalam penulisan skripsi ini.

  1. Observasi

Dalam metode ini pengamatan merupakan teknik yang paling penting sebelum melakukan penelitian untuk memperoleh data, dengan metode observasi hasil yang diperoleh peneliti lebih jelas dan terarah sesuai dengan apa adanya agar diperoleh pengamatan yang jelas untuk menghindari kesalahpahaman dengan obyek, maka peneliti mengamati secara langsung untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka observasi yang digunakan adalah observasi partisipatif, yaitu observasi yang dilakukan secara eksplorasi yang tidak terstruktur, serta peneliti turut ambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang di observasi.

  1. Dokumentasi

Dokumentasi mencakup arsip-arsip berupa tulisan, photo, gambar-gambar serta hal-hal yang memungkinkan untuk digali sebagai data dalam proses penelitian.

 

  1. 6.      Teknik Analisa Data

Data-data yang sudah terkumpul melalui observasi, wawancara dan dokumentasi diurutkan dan diorganisasikan dalam kategori atau pokok-pokok bahasan kemudian selanjutnya diusulkan dan diuraikan sedemikian rupa setelah itu dikaitkan dengan teori yang ada.


  1. 7.      Teknik Validitas       

Agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukan pengecekan data, apakah data yang disajikan valid atau tidak, maka diperlukan teknik keabsahan atau kevalidan data, antara lain :

  1. Ketekunan pengamatan

Ketekunan pengamatan di sini adalah bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Teknik ini menuntut agar peneliti mampu menguraikan secara rinci bagaimana proses penemuan secara tentative dan penelaahan secara rinci tersebut dapat dilakukan.

 

  1. 8.      Tahapan Penelitian

Adabeberapa tahap dalam penelitian ini, antara lain :

  1. Tahap perencanaan

Menyusun rancangan penelitian antara lain:

ü  Menentukan atau memilih masalah, dalam penelitian ini peneliti memilih meneliti tentang Pemberdayaan gelandangan dan pengemis oleh Liponsos Keputih Surabaya

ü  Membuat latar belakang masalah yaitu mengapa permasalahan pada judul penelitian itu diangkat, dimana letak keunikannya.

ü  Perumusan masalah yaitu menyusun beberapa permasalahan inti, yang menjadi fokus penelitian ini, sehingga masalah yang diteliti dan di bahas tidak campur aduk dan melebar pada hal yang tidak sesuai dengan tema awal.

ü  Merumuskan tujuan dan manfaat penelitian.

ü  Mengurus semua administrasi penelitian, yaitu mulai dari pengajuan judul sampai pada pembuatan proposal serta mengurus surat perijinan penelitian, yang rencananya akan dilakukan di dinas sosial Keputih Surabaya.

  1. Tahap pelaksanaan

Adaempat langkah dalam tahap pelaksanaan ini, antara lain :

ü  Pengumpulan data

Dalam langkah pengumpulan data ini menggunakan teknik-teknik yang akan di jelaskan dalam teknik pengumpulan data (wawancara, observasi, dokumentasi), dari teknik-teknik tersebut akan di peroleh data-data yang selanjutnya akan diolah.

ü  Pengolahan data

Data yang sudah di peroleh melalui teknik-teknik pengumpulan data tersebut perlu di olah terlebih dahulu, tujuannya adalah menyederhanakan semua data yang sudah terkumpul, menyajikan dalam susunan yang baik dan kemudian di analisis.

ü  Analisis data

Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Kegiatan analisis dengan cara ini dilakukan dengan membandingkan data hasil penelitian dengan teori yang sesuai.

  1. Tahap Penulisan Laporan Penelitian

Tahap penulisan laporan penelitian merupakan tahap akhir dan penting dalam proses pelaksanaan sebuah penelitian, oleh karena itu penulisannya harus memperhatikan beberapa hal, seperti pembaca, bentuk dan isi, serta cara penyusunan laporan.

 

  1. 9.      Ruang Lingkup Kajian

Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial) menampung semua penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terjaring di seluruhkotaSurabaya, diantaranya adalah : gelandangan dan pengemis (gepeng), anak jalanan (anjal), Psykotik, dan Lansia.

Supaya lebih spesifik dan mendetail, dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng).

  1. E.     KAJIAN PUSTAKA
    1. 1.      Pengertian Pekerjaan Sosial (Sosial Worker)

Pekerjaan sosial sebagai profesi masih dapat dikatakan sebagai profesi yang baru muncul pada awal abad ke-20, meskipun demikian, ia mempunyai akar sejak timbulnya revolusi industri. Berbeda dengan profesi lain yang mengembangkan spesialisasi untuk mencapai kematangannya, maka pekerjaan sosial lebih berusaha untuk menyatukan berbagai bidang ilmu ataupun spesialisasi dari berbagai lapangan praktek.

Menurut International Federation Of Social Worker (ISFM), pekerjaan sosial (social worker) adalah sebuah profesi yang mendorong perubahan sosial, memecahkan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, memberdayakan, dan membebaskan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Pekerjaan sosial adalah aktivitas professional, untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut Thelma Lee Mendoza, pekerjaan sosial merupakan profesi yang memperhatikan penyesuaian antara individu dengan lingkungannya, dan individu (kelompok) dalam hubungan dengan situasi (kondisi) sosialnya. Pandangan ini mengacu pada konsep “fungsi sosial” yang terkait dengan kinerja (performance) dari berbagai peranan sosial yang ada pada masyarakat.[5]

Menurut Leonora Scrafica-deGuzman Pekerjaan sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung dalam kegiatan pelayanan sosial yang terorganisasi, dimana tujuannya untuk memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan sosialnya, melalui penggunaan metode-metode sosial.

Tan dan Envall mendefinisikan Pekerjaan sosial sebagai berikut “profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.[6]

Dari pandangan di atas, permaslahan dalam bidang pekerjaan sosial, erat kaitannya dengan masalah fungsi sosial (social functioning), yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan peranannya sesuai tuntutan lingkungannya. Oleh karena itu usaha-usaha untuk memberikan pelayanan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga diarahkan untuk membantu individu, kelompok ataupun masyarakat dalam menjalankan fungsi sosialnya. Menurut Thelma Lee Mendoza, secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya :

  1. Personal inadequancies or sometimes phatologies which may make it difficult for man to cope with the demands of his environment. (ketidakmampuan individu atau kadangkala patologiyang membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan lingkungannya).
  2. Situational inadequancies and other conditions which are beyond man’s coping capacities,and. (ketidakmampuan situasional (lingkungan) dan kondisi lainnya yang berada dibawah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri).
  3. Both personal and situasional inadequacies. (ketidakmampuan/ ketidaklengkapan dari kedua faktor personal dan situasional).

Dan untuk mengatasi masalah-masalah dalam fungsi sosial, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah :

  1. Intervention primarily through person, which involves activities aimed at increasing man’s capacities to cope with or adjust to his reality situation (such as by changing his attitudes and teaching him skills). (intervensi yang utama dilakukan melalui individu, dimana melibatkan kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada peningkatan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi realitanya (seperti melalui perubahan sikap dan mengajarkan keterampilan pada orang tersebut).
  2. Intervention primarily through his situation which involves activities aimed at modifying the nature of the reality itself so as to bring it within the range of man’s functional capacities (such as by minimizing or preventing the causes of stress, by providing necessary services and facilities). (intervensi yang utama dilakukan melalui situasi lingkungannya, dimana meliputi kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pemodifikasian sifat-sifat dasarndan realita itu sendiri agar dapat masuk kedalam rentangan kemampuan berfungsi orang tersebut(seperti melalui peminimalisiran atau pencegahan penyebab timbulnya stress, melalui penyediaan pelayanan dan fasilitas yang diperlukan).
  3. Intervention through both the person and his situation. (intervensi yang dilakukan melalui individu dan juga melalui situasi lingkungannya).[7]

Sebagai aktivitas pertolongan (helping profession), pekerjaan sosial bermaksud untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi pada individu, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Layaknya dokter atau guru, sebagai aktivitas yang professional, pekerjaan sosial didasari atas tiga kompetensi penting, yakni kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian ( body of skill), dan kerangka nilai (body of value). Secara integratif, ketiganya menjadi dasar penting dalam praktik ilmu pekerjaan sosial.

Dari definisi diatas, dapat dilihat bahwa pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, yang dihadapi umat manusia, artinya, secara operasional pekerjaan sosial pada dasarnya sangat dekat dengan kehidupan setiap masyarakat. Walaupun demikian, perlu diakui bahwa secara definitive, pekerjaan sosial relative kurang dikenal dalam masyarakat Indonesia.[8]

Bila dilihat secara definitif, pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh United States Council on Social Work Education. Lebih melihat pekerjaan sosial sebagai profesi yang banyak berfokus pada fungsi sosial individu, ataupun kelompok, terutama dalam kaitan dengan relasi sosial yang membentuk interaksi antara manusia dengan lingkungannya, aktivitas ini menurut Skidmore, dapat dikelompokkan kedalam tiga fungsi:

  1. Perbaikan (restorasi), kapasitas yang dimiliki klien (fungsi rehabilitative dan kuratif). Aspek kuratif dalam pekerjaan sosial berusaha mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor  yang menjadi penyebab kurang berfungsinya seseorang. Aspek rehabilitative dalam pekerjaan sosial mencoba membina kembali pola-pola interaksi.
  2. Penyediaan sumber daya individu atau masyarakat (fungsi developmental), fungsi developmebtal ini bertujuan untuk memanfaatkan secara maksimum kemampuan dan potensi agar interaksi sosialnya lebih efektif.
  3. Pencegahan disfungsi sosial (fingsi preventif). Fungsi ini melibatkan penemuan, pengawasan, dan menghilangkan atau mengurangi kondisi atau situasi yang mempunyai potensi untuk merusak fungsi sosial seseorang.

 

 

 

  1. 2.      Tujuan Pekerjaan Sosial

Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh The National Assosiation Of Social Workers (NASW), pekerjaan sosial mempunyai empat tujuan utama, akan tetapi The Council on Social Work Education menambah dua tujuan pekerjaan sosial, sehingga menjadi enam poin penting, antara lain :

  1. Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya, menanggulangi dan secara efektif dapat menjalankan fungsi sosialnya. Seseorang yang sedang mengalami masalah, sering kali tidak memilikikesadaran bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pekerja sosial berperan dalam mengidentifikasi kekuatan klien dan mendorongnya untuk dapat melakukan perubahan pada kehidupannya.kesadaran tentang kekuatan yang ada pada diri klien inilah yang menimbulkan suatu nilai terkenal yang dijunjung tinggi dalam pekerjaan sosial, yakni self determination (keputusan oleh diri sendiri). Pekerja sosial dalam konteks ini dapat berperan sebagai konselor, pendidik, penyedia layanan, atau perubah perilaku.
  2. Menghubungkan klien dengan jaringan sumber yang dibutuhkan. Ibarat memancing, dalam konteks memberdayakan masyarakat, jika dulu cukup memberikan kailnya saja. Dengan memberikan pelatihan skill tertentu (misalnya kewirausahaan) kepada rakyat miskin, mungkin sudah cukup menyelesaikan problem kemiskinan. Namun, kail saja kini rasanya tidak cukup. Sebab, bagaimana mungkin bisa memancing padahal “kolam” nya saja sudah tidak tersedia, atau klien merasa kebingungan di “kolam” mana mungkin dia akan melemparkan kailnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial berfungsi strategis dalam advokasi sosial maupun menghubungkan klien kepada jaringan-jaringan sumber yang dibutuhkan seorang klien, untuk dapat berkembang dan mencapai tujuan kehidupannya. Menjadi broker atau pialang sosial adalah suatu peran strategis, yang dapat dimainkan oleh pekerja sosial untuk mencapai tujuan ini.
  3. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial dalam pelayanannya, agar berjalan secara efektif. Pekerja sosial berperan dalam menjamin agar lembaga-lembaga sosial dapat memberikan pelayanan terhadap klien secara merata dan efektif. Langkah ini dilakukan karena lembaga-lembaga sosial dianggap sebagai salah satu peranti untuk mencapai tujuan-tujuan dari disiplin ilmu pekerjaan sosial. Peran-peran yang dapat dilakukan pekerja sosial antara lain, pengembang program, supervisor, koordinator ataupun konsultan. Sebagai pengenbang program, pekerja sosial dapat mendorong atau merancang program sosial, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai supervisor, pekerja sosial dapat meningkatkan kinerja pelayanan lembaga sosial melalui supervise yang dilakukan terhadap staf-stafnya. Sedangkan, dalam konteks coordinator, pekerja sosial dapat meningkatkan system pelayanan, dengan meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara sumber-sumber pelayanan kemanusiaan. Memandu lembaga sosial dalam meningkatkan kualitas pelayanan dapat diperankan oleh pekerja sosial sebagai konsultan.
  4. Mendorong terciptanya keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial yang berpihak. Disinilah pekerjaan sosial memiliki kaitan yang sangat erat dengan kesejahteraan sosial maupun dengan kebijakan sosial. Yang pertama sebagai tujuan akhirnya sedang kedua sebagai salah satu alat untuk mencapainya. Keduanya berada dalam wilayah kajian pekerjaan sosial. Pekerja sosial dapat berperan sebagai perencana (planner) atau pengembang kebijakan (policy developer).
  5. Memberdayakan kelompok-kelompok rentan dan mendorong kesejahteraan sosial maupun ekonomi. Kelompok rentan yang dimaksud seperti orang lanjut usia, kaum perempuan, gay, lesbian, orang yang cacat fisik maupun mental, pengidap HIV/AIDS (ODHA), dan kelompok marjinal lainnya. Lazimnya, kelompok masyarakat seperti ini sangat rentan terhadap pengabaian hak-haknya, sehingga perlu dilindungi agar memperoleh hah-haknya secara memadai. Selain hak-hak keadilan dan kesejahteraan sosial diperlukan juga upaya untuk memberikan perlindungan kepada mereka untuk memperoleh hak-hak keadilan secara ekonomi. Misalnya, peluang untuk memperoleh pekerjaan atau pelayanan kesehatan. Sebab tidak jarang kelompok rentan seperti ini kurang mendapat perhatian dalam hak-haknya secara ekonomi.
  6. Mengembangkan dan melakukan uji keterampilan atau pengetahuan professional. Pekerjaan sosial diharapkan memiliki dasar-dasar keterampilan dan pengetahuan yang mencukupi dalam praktiknya. Sehingga perlu ada upaya pengembangan maupun uji kelayakan terhadap pekerja sosial sendiri. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar praktik pekerjaan sosial yang dilakukan tidak menyimpang, dan sesuai dengan norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat.[9]

 

 

 

 

  1. F.     Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan, berikut peneliti akan menjelaskan tentang sistematika pembahasan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :

BAB I       PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan secara singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, metode penelitian, kajian pustaka dan sistematika pembahasan.

BAB II      POTRET DAN SEJARAH LIPONSOS KEPUTIH SURABAYA

Pada bab ini menerangkan tentang gambaran dilingkungan Liponsos Keputih Surabaya

BAB III    PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Pada bagian bab ini menjelaskan keadaan lingkungan dan para penghuni Liponsos Keputih Surabaya serta menganalisis data.

BAB IV    PENUTUP

Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan disertai saran-saran sebagai alternatif pemecahan masalah dan perbaikan yang dianggap perlu di masa yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

POTRET DAN SEJARAH LIPONSOS KEPUTIH SURABAYA

  1. A.    Gambaran Umum Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos)

Gelandangan dan pengemis (gepeng) dapat tumbuh subur, seirama dengan pertumbuhan dan perkembangankota. Fenomena sosial yang nyata dan merupakan salah satu permasalahan yang paling kompleks dikotaSurabaya. Hal ini disebabkan karena arus urbanisasi yang sangat deras. Masyarakat desa berbondong-bondong datang kekotadengan tujuan untuk memperoleh pekerjaan dan memperbaiki nasibnya, mereka tidak pernah menyadari tanpa dibekali skill dan keterampilan mereka tidak akan bisa bertahan. Dan untuk menyambung hidup mereka terpaksa hidup bergelandang dan mengemis.

Oleh karena itu, pada tahun 1997 Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Sosial, membangun Panti Rehabilitasi Sosial di Keputih guna menampung para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) seperti gelandangan, pengemis, lansia terlantar serta gelandangan psykotik yang berkeliaran di sudut-sudutkotadalam upaya menciptakan ketentraman, ketertiban dan keindahan kota.

Panti Rehabilitasi Sosial yang terletak di Jl. Keputih Tegal, Kel. Keputih. Kec. Sukolilo, berdiri diatas lahan seluas 1,6 Ha, terdiri dari :

  1. 3 blok bangunan, tiap blok terdiri dari 32 kamar, ukuran 3X4 m, lengkap dengan kamar mandi dan WC untuk menampung psykotik perempuan dan laki-laki.
  2. 2 barak ukuran 4X26 m, tiap barak dilengkapi dengan 5 kamar mandi dan WC untuk menampung hasil cakupan (razia).
  3. 1 blok bangunan gazebo untuk menampung gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tidak mempunyai keluarga, terdiri dari 32 kamar lengkap dengan kamar mandi dan WC.
  4. 1 blok bangunan untuk istirahat petugas penjaga, petugas masak, petugas piket, dengan kamar mandi diluar.
  5. 1 bangunan terdiri dari 8 kamar, untuk menampung lansia terlantar dengan kamar mandi dan WC diluar.
  6. 1 ruang dapur umum, dengan ukuran 6X12 m.
  7. 1 ruang serba guna dengan ukuran 6X20 m.
  8. 1 ruang kantor, dengan ukuran 6X12 m.
  9. 1 ruang untuk pemeriksaan medis.
  10. 1 ruang bangunan musholla.
  11. 1 ruang bangunan rumah pompa.

Daya tampung Liponsos adalah 300 orang, yang meliputi : psykotik, gelandangan dan pengemis (gepeng), anak jalanan, WTS, waria, dan Lansia terlantar. Tapi saat ini jumlah mereka sudah melebihi kapasitas Liponsos yaitu sekitar 750 orang. Kondisi tersebut membuat UPT Liponsos Keputih kelabakan mengatur tempat tidur untuk para anjal dan gepeng. Akibatnya, banyak yang terpaksa tidur di tikar dan lantai, karena jumlah kasur yang tersedia terbatas. Kondisi yang memprihatinkan tersebut ditambah lagi dengan keadaan lingkungan liponsos yang sangat kumuh dan tidak layak huni, khususnya pada bangunan untuk psykotik laki-laki dan perempuan. Bayangkan saja, mereka hidup dan beraktifitas dalam ruangan kumuh, berdesak-desakan dan bercampur baur dengan kotoran mereka sendiri, sungguh pemandangan yang sangat memprihatinkan.

 

 

 

 

Berikut ini adalah data jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang berada di Liponsos tahun 2012 :

Penderita

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Gepeng

113

42

155

Lansia

4

11

15

Anjal

20

20

Psikotik

290

255

545

WTS/waria

15

15

Jumlah

427

323

750

Sumber data: diolah berdasarkan data dari kantor UPTD Liponsos

 

  1. B.     Tugas dan Fungsi
    1. Tugas Pokok

Dinas sosial mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas di bidang sosial khususnya rehabilitasi sosial gelandangan, pengemis dan gelandangan penderita psykotik terlantar.

  1. Fungsi :
    1. Pelaksanaan penyusunan rencana program.
    2. Pelaksanaan registrasi, akomodasi dan identifikasi pelayanan.
    3. Pelaksanaan penentuan diagnosa kecacatan mental dan sosial, serta perawatan kesehatan.
    4. Pelaksanaan pengembangan kecerdasan mental dan sosial.
    5. Pelaksanaan latihan keterampilan kerja, dasar kejuruan dan bina usaha.
    6. Pelaksanaan usaha-usaha penyalura dan penempatan kembali ke keluarga.
    7. Pelaksanaan pembinaan lanjutan dan perlindungan sosial.
    8. Pelaksanaan tata usaha UPTD.
    9. Pelaksanaan evaluasi dan pelayanan pelaksanaan tugas.

 

  1. C.    SDM, Sarana dan Prasarana
    1. 1 unit mobil ambulance
    2. 1 unit mobil pick up
    3. 5 orang pegawai negeri sipil
    4. 24 orang petugas panti yang terdiri :
      1. Juru masak
      2. Petugas perawat
      3. Petugas kebersihan
      4. Petugas secretariat
      5. Petugas penjaga keamanan
  2. D.    Tujuan, Sasaran dan Strategi


Tujuan, sasaran dan strategi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi tergambar pada penjelasan dibawah ini :

  1. Tujuan :
    1. Terwujudnya peningkatan taraf kesejahteraan sosial PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial)
    2. Tercapainya tingkat kesejahteraan sosial para PMKS
    3. Terwujudnya peningkatan kualitas hidup PMKS
    4. Meningkatkan profesionalisme pelayanan kepada masyarakat, khususnya PMKS
    5. Terpeliharanya nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan.
    6. Sasaran

Dalam rangka tercapainya tujuan yang ditetapkan, maka sasarannya adalah sebagai berikut :

  1. Meningkatnya kualitas kehidupan anak dari golongan ekonomi lemah.
  2. Meningkatnya kemampuan keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
  3. Meningkatnya kualitas kehidupan Lansia miskin.
  4. Terlaksananya bakat dan minat generasi muda kedalam hal-hal positif.
  5. Meningkatnya pemahaman dan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial secara swdaya dan terorganisasi.
  6. Terlestarikan, tertanam dan teramalkan nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial.

 

 

 

  1. Strategi
    1. Kebijakan teknis

Untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan teknis yang diambil adalah sebagai berikut :

1)      Meningkatkan dan memantapkan peranan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan sosial dengan melibatkan semua unsure dan komponen masyarakat yang didasari oleh nilai-nilai keswadayaan, gotong royong, kesetiakawanan sosial, sehingga merupakan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkesinambungan.

2)      Meningkatkan jangkauan pelayanan sosial yang lebih adil dan merata bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, agar memperoleh pelayanan sosial yang sebaik-baiknya untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

3)      Meningkatkan mutu pelayanan sosial professional baik yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha bagi penyandang masalah sosial, masyarakat kurang beruntung maupun yang terpuruk akibat krisis dan bencana alam.

 


  1. E.     Pegawai Liponsos

Jumlah keseluruhan staff serta pegawai di Dinas Sosial Keputih Surabaya adalah 61 orang. Yang terdiri dari Pegawai kantor 8 orang, dengan komposisi 5 pegawai negeri dan 3 honorer. Serta 53 pegawai lapangan, dengan komposisi : petugas administrasi 8 orang, petugas perawatan non medis 13 orang, juru masak 4 orang, dan petugas keamanan 18 orang.

Akan tetapi, dengan jumlah staff dan pegawai tersebut Dinas Sosial tidak mempunyai Struktur Organisasi yang jelas. Hal ini sangat disayangkan, mengingat struktur organisasi dalam sebuah departemen atau organisasi keberadaannya sangat penting sekali demi kelancaran aktifitasnya. Menurut Sugianto (45 th) salah satu staff di Dinas Sosial tersebut, tidak adanya struktur organisasi dikarenakan jumlah pegawai negeri yang ada di Dinas Sosial Keputih ini terbatas. Sehingga tidak ada pembagian kerja didalamnya, seluruh pegawai melakukan tugas secara bersama-sama, saling tolong-menolong satu sama lain.

Mereka sudah mengajukan kepada pemerintah untuk menempatkan lebih banyak pegawai negeri di dinas sosial ini, agar mereka tidak kewalahan mengatasi para Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang tertampung. Tetapi sampai saat ini, permohonan itu belum terealisasikan.

LIPONSOS dalam Pandangan Mata: Kawasan Penampungan Kumuh dan Serba Kekurangan

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Liposos, perasaan terharu, sedih campur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, di ruangan yang sempit, lembab dan kotor tersebut terdapat ratusan PMKS yang tertampung. Bau yang tak sedappun segera tercium saat peneliti mencoba memasuki salah satu bangsal tempat tidur mereka. Sangat ironis, mereka harus tinggal, dan tidur bercampur dengan kotoran mereka sendiri, got-got disekitar tempat penampungan juga sangat kotor dan keruh. Benar-benar tempat yang tidak layak untuk dihuni oleh manusia.

Saat peneliti berusaha masuk salah satu bangsal tersebut, para gelandangan dan pengemis segera bangkit dari tempatnya mengikuti peneliti, ada yang mengeluh dan mengumpat tidak jelas ada juga yang memohon untuk segera dikeluarkan dari tempat itu. Salah satu gepeng yang bernama Sumiatun (39 th)[10] yang baru dua hari tertanpung di Liponsos  mengatakan bahwa dia tidak tahan tinggal disana, mereka dikurung dan tidak diperbolehkan keluar ruangan sama sekali kecuali kekamar mandi, saat hari pertama terjaring dia tidak dapat jatah makan dan untuk mengisi perutnya dia terpaksa minum air kran yang berada dikamar mandi. Dia mengeluhkan tidak tahan ditempat ini dan ingin segera keluar, tapi tidak ada keluarga yang menjemputnya. Sungguh suatu dilema, disatu sisi ketika para gelandangan dan pengemis di lepas pasti mereka akan mengganggu dijalanan, meresahkan masyarakat dan mengotori kota, tapi disisi lain ketika mereka ditempat penampungan mereka juga tidak mendapatkan tempat dan perlakuan yang layak. Seharusnya pemerintah lebih peka terhadap permasalahan ini sehingga ada solusi terbaik.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

 

 

  1. A.    Penyajian Data

Sesuai dengan fokus penelitian dalam tugas ini, peneliti akan membahas 3 aspek penting antara lain: Pertama, proses penanganan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang dilakukan oleh Dinas sosial Keputih Surabaya. Kedua, faktor pendorong dan penghambat dalam penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas sosial Keputih Surabaya dan Ketiga, apa relevansi penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) oleh Dinas sosial Keputih Surabaya dengan Dakwah pengembangan masyarakat Islam.

  1. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Sosial dalam menangani gelandangan dan pengemis (gepeng) di Liponsos.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala UPTD Sri Supatmi (45th), berikut ini adalah proses-proses yang dilakukan oleh Dinas Sosial dalam menangani gelandangan dan pengemis:[11]

  1. Razia

Razia merupakan proses penangkapan para gelandangan dan pengemis serta para PMKS lainnya.[12] Razia ini dilakukan oleh pihak dinas sosial yang bekerja sama dengan satpol PP. operasi penangkapan ini dilakukan setiap hari dengan sasaran razia keseluruh jalanan kota Surabaya. Dalam pengamatan peneliti, ketika polisi dan satpol PP melaksanakan razia, para PMKS berusaha untuk kabur dengan berlari menghindari kejaran para polisi, semisal menurut pengakuan dari Jakfar (39 Tahun) dia tertangkap ketika polisi melakukan razia di daerah Bambu runcing, dia yang saat itu sedang mengemis di sebuah ruko sontak berusaha untuk kabur dengan cara melompati pagar di depan ruko. Akan tetapi polisi jauh lebih sigap berlari mengejarnya dan kemudian diapun terjaring dalam razia tersebut.[13]

Penangkapan yang dilakukan oleh para polisi yang bekerja sama dengan Satpol PP tersebut seringkali mengalami kesulitan, mulai dari pengejaran hingga pemberontakan yang dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis yang rata-rata sudah seringkali keluar-masuk Liponsos. Namun, meskipun demikian penangkapan tetap berjalan lancar dan mereka banyak yang tertangkap.

  1. Penampungan sementara

Setelah dilakukan razia, para gelandangan dan pengemis (gepeng) diletakkan di penampungan Liponsos. Dalam penampungan ini mereka diidentifikasi sesuai dengan tempat asal dan usia produktif.

Untuk gelandangan dan pengemis (gepeng) yang mempunyai keluarga, mereka akan dikembalikan dengan catatan dari pihak keluarga datang menjemput di Liponsos  membawa persyaratan KTP dan KK. Bagi gepeng yang berasal dari luarkota, mereka dikembalikan kekotaasal mereka masing-masing. Sedangkan bagi gepeng yang sudah tidak mempunyai keluarga atau tidak ada pihak keluarga yang menjemput, mereka tetap tinggal di tempat penampungan Liponsos Keputih ini sampai ajal menjemputnya.

Dalam sebuah jurnal di Dinas Sosial Kota Surabaya, proses ini termasuk dalam usaha rehabilitatif. Yaitu dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis dilaksanakan dalam suatu panti sosial yang dibentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

1)      Tujuan

a)      Memberikan perawatan kepada sasaran pelayanan agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari.

b)      Memberikan pelayanan-pelayanan untuk menyembuhkan gangguan-gangguan yang dialami oleh sasaran.

c)      Memberikan pengetahuan dan keterampilan kerja serta membentuk sikap-sikap yang diperlukan guna penyesuaian sosial sasaran.

d)     Menyalurkan sasaran kedalam masyarakat sehingga mampu berkedudukan dan berperanan secara wajar dan layak menjadi warga masyarakat.

2)      Sasaran

Paragelandangan dan pengemis yang telah diseleksi dalam panti observasi yang sesuai dengan klasifikasi kondisi dan permasalahannnya serta sesuai dengan jenis peranan panti.

3)      Usaha tindak lanjut (pengembangan)

a)      Peningkatan kesadaran berswadaya

b)      Pemeliharaan pemantapan dan peningkatan kemampuan sosial ekonomi.

c)      Penumbuhan kesadaran hidup bermasyarakat.

 

 

 

 

  1. Proses Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis[14] 

Pemberdayaan gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pihak dinas sosial bersifat kompleks, artinya bahwa sebelum diadakannya pelatihan para gepeng terlebih dahulu diberikan bimbingan-bimbingan, serta pelatihan keterampilan yang prosesnya adalah sebagai berikut :

  1. Bimbingan mental

Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada para PMKS yang berada di tempat penampungan Liponsos. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Penuturan dari Doni (31 tahun) sejak kepindahannya ke Surabaya, dia mengaku kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasnya yang hanya lulusan SD. Hingga diapun terpaksa mengemis di jalanan demi sesuap nasi.[15]

Bimbingan mental ini dilakukan olah Dinas sosial dengan mendatangkan psikolog dari RSJ Lawang dan RSJ Menur. Mereka melakukan therapy setiap 2 minggu sekali, metode therapy yang mereka pakai adalah therapy  individu dan therapy kelompok. Therapy ini dilakukan disebuah ruangan yang biasa mereka pakai sebagai ruang pertemuan. Therapy individu ini mencoba mengorek tentang awal mula serta motif mereka hidup bergelandang dan mengemis, setelah itu mereka diberikan penyadaran serta pencerahan dalam therapy kelompok.

Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis, ada yang kelihatan sangat ketakutan pada saat para psikolog dari RSJ Lawang dan RSJ Menur memberi pertanyaan kepada mereka, ada juga yang sangat berani dan bahkan membantah perkataan para psikolog. Reaksi mereka bermacam-macam ada yang pasrah dam nurut, ada yang menolak karena takut dan ada juga yang acuh tak acuh terhadap proses therapy ini. satu atau dua kali therapy belum ada perubahan apapun yang terjadi pada mereka. Baru setelah beberapa kali therapy ada beberapa gelandangan dan pengemis (gepeng) yang menunjukkan perubahan menjadi lebih baik, hal ini ditunjukkan pada sikap dan tingkah laku mereka. Selebihnya tidak ada perubahan apapun.

Menurut Dr. Budiono (45 th) salah satu Dokter dari RSJ Lawang pada umumnya  gelandangan dan pengemis (gepeng) yang terjaring berasal dari luar kota, motiv mereka bermacam-macam ada yang memang tidak mempunyai keluarga, ada yang memang asli berprofesi sebagai pengemis, ada juga yang terpaksa menggelandang dan mengemis karena tuntutan hidup di kota yang sangat keras dan serba sulit. Tapi pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) sehat secara mental. Kecuali para gelandangan psykotik yang memang sudah sakit jiwa saat mereka turun dijalanan. Golongan ini adalah golongan yang paling parah yang memerlukan penanganan psikologis secara intensif.[16]

Sedangkan menurut penuturan salah satu gelandangan dan pengemis (gepeng) yang bernama Tarno (47 th) dia hidup menggelandang karena dia tidak punya rumah dan sudah tidak mempunyai keluarga, dia lebih senang hidup dijalanan dari pada di Liponsos karena di tempat ini mereka selalu diatur dan disuruh-suruh, dia tidak bisa melakukan sesuatu sesuka hatinya, dan itu yang membuat dia ingin keluar, “tempat ini sudah mirip penjara” begitu ujarnya.[17]

  1.  Bimbingan kesehatan

Bimbingan kesehatan dari Dinas KesehatankotaSurabayadilakukan 1 bulan sekali, hal ini bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada mereka tentang pentingnya kesehatan, baik kesehatan tubuh maupun lingkungan. Mereka juga diberikan penyuluhan tentang bahaya AIDS serta bagaimana proses berkembangnya penyakit tersebut.

Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka di Liponsos, ini juga terlihat pada lingkungan Liponsos yang sangat kotor dan kumuh, mereka sama sekali tidak peduli akan hal itu dan terkesan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, bahkan para wanita tuna susila (WTS) yang tertampung di Liponsos juga masih belum memahami  betul tentang bahaya seks bebas yang merupakan pemicu penyakit  AIDS. Dalam hal ini peneliti pernah mencoba mewawancarai seorang WTS yang tertampung di Liponsos bernama Meli (35 th) dia mengaku belum faham tentang bahaya penyakit AIDS karena belum pernah terjangkit penyakit berbahaya tersebut, bahkan Meli masih belum meresa jera dengan profesinya karena menurutnya itu adalah satu-satunya sumber penghasilan. Ini merupakan indikasi bahwa para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang ada di Liponsos masih belum faham tentang pentingnya kesehatan. Meskipun seperti itu keadaannya tapi pihak dinas kesehatan beserta dinas sosial selalu berusaha untuk tetap menyadarkan mereka tentang pentingnya kesehatan. Usaha-usaha tambahanpun mereka lakukan diantaranya adalah mengadakan olah raga setiap pagi seperti senam dan lari pagi, kegiatan ini dimulai pada pukul 06.00 wib dipimpin oleh pegawai dinas sosial secara bergantian. Dan ternyata usaha ini lebih berhasil dibandingkan dengan memberikan ceramah-ceramah dalam bimbingan kesehatan.

Akan tetapi menurut penuturan salah satu pegawai Liponsos yang menangani para gelandangan dan pengemis (gepeng) Yusron (57 th) setelah mendapatkan bimbingan kesehatan sebagian dari para gelandangan dan pengemis (gepeng) mulai rajin membersihkan diri, yang dulunya kalau mandi harus dipaksa dan dimandikan, sekarang mereka sudah mau mandi sendiri, dan setiap ada kerja bakti membersihkan  Liponsos mereka banyak yang ikut tapi lama kelamaan mereka bermalas-malasan lagi.[18] 

  1. Bimbingan ketertiban

 Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang  dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas.

Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan. Itu merupakan trauma tersendiri bagi mereka, hal ini juga di sampaikan oleh Joyo (36 th) salah satu pengemis yang mengikuti bimbingan ketertiban. Dia selalu mengikuti bimbingan ketertiban karena dia takut dimarahi oleh polisi-polisi itu.[19]

Menurut Sugianto (47 th) salah satu staff Dinas Sosial Keputih Surabaya, meskipun para gelandangan dan pengemis (gepeng) sudah diberikan bimbingan ketertiban setiap 1 bulan sekali mereka masih tetap saja melanggar, buktinya banyak diantara para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang keluar masuk Liponsos, artinya setelah mereka terjaring razia dan kemudian dikeluarkan ternyata setelah diadakan razia lagi, mereka terjaring lagi. Hal ini sudah terjadi berulang-ulang kali.[20]

  1. Bimbingan  keagamaan

Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Bagi gepeng muslim, mereka dibina oleh oleh Bapak. Hisyam salah satu staff dinas sosial dan Hj. Toyyibah. Kegiatan mereka antara lain adalah yasinan setiap hari kamis malam jum’at, ngaji rutin setiap hari rabu dan kamis untuk gepeng laki-laki. Untuk gepeng perempuan setiap hari jum’at dan sabtu. Dari setiap kegiatan tersebut diselingi dengan siraman rohani.

Sedangkan untuk gepeng Kristen, mereka diberikan pembinaan setiap hari selasa oleh gereja Betani dan Gereja persatuan masyarakat kota.

Menurut Bapak Hisyam (55 th) dalam menangani para gelandangan dan pengemis (gepeng) diperlukan kesabaran ekstra karena mereka terbiasa hidup keras dijalanan sehingga pembawaan merekapun kasar, saat disuruh ikut kegiatan mengaji atau yasinan ada sebagian gelandangan dan pengemis (gepeng) yang menolak untuk ikut, justru kebanyakan yang aktif mengikuti adalah para gelandangan psykotik konon katanya para gelandangan psykotik kebanyakan berasal dari pesantren, mereka banyak yang hafal Al-qur’an. Dalam kegiatan ini tidak ada unsur paksaan, bagi yang ingin mengikuti mereka dipersilahkan dan bagi yang tidak ingin ikut mereka diperbolekan tetap diam diruangan.[21]

Setelah peneliti mengamati kegiatan keagamaan tersebut, ternyata memang sedikit sekali yang antusias mengikutinya, bahkan para pegawai Liponsos harus bekerja keras untuk ngobraki mereka supaya mengikuti kegiatan tersebut. Tapi ada juga sebagian gelandangan dan pengemis (gepeng) yang rajin mengikuti bimbingan keagamaan hampir semua kegiatan mereka ikuti tanpa terkecuali.

  1. Faktor Pendorong dan Faktor Penghambat Proses Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Liponsos

Dalam proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Liponsos. Tentu tidak luput dari faktor pendorong dan faktor penghambat. Dan berikut ini adalah faktor pendorong proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Liponsos Keputih :

  1. Mendapatkan dukungan dari banyak pihak, terutama masyarakat. Seluruh bentuk penanganan yang dilakukan oleh dinas sosial terhadap para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tertampung di Liponsos keputih ini cukup menarik simpati dan dukungan dari banyak pihak, baik dari departemen pemerintahan seperti dinas kesehatan, dinas pertanian dan dinas perikanan maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada di Surabaya yang selalu memberikan dukungan  moral maupun material terhadap para gelandangan dan pengemis yang tertampung.[22]
  2. Mempunyai pelatih yang sesuai dengan bidangnya. Dalam upaya penanganan gelandangan dan pengemis di Liponsos, pihak dinas sosial telah mendatangkan nara sumber serta pelatih yang sesuai dan berkompeten dibidangnya. Seperti mendatangkan psikolog dari RSJ Lawang dan RSJ Menur untuk bimbingan mental, mendatangkan pihak dinas kesehatan untuk bimbingan kesehatan, mendatangkan ustadz untuk bimbingan keagamaan,  mendatangkan pihak kepolisian untuk bimbingan ketertiban dan mendatangkan pengusaha kayu untuk pelatihan keterampilan pertukangan kayu.[23]
  3. Mempunyai ruangan tersendiri untuk melakukan setiap kegiatan. Meskipun ruangan untuk menampung para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sangat terbatas. Akan tetapi Liponsos memiliki sebuah ruangan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang telah di agendakan oleh pihak dinas sosial.[24]

Sedangkan faktor penghambat proses penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Terbatasnya jumlah pegawai Dinas Sosial. Dengan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang membludak di Liponsos, yaitu lebih dari 600 orang, pegawai dinas sosial yang jumlahnya terbatas jelas merasa kesulitan dan kualahan dalam menanganinya, sehingga hal ini menjadi faktor penghambat yang paling besar pengaruhnya.[25]
  2. Minimnya dana dari pemerintah. Untuk menangani gelandangan dan pengemis yang jumlahnya sangat banyak tersebut diperlukan biaya yang cukup besar. Akan tetapi menurut Sujiati dana yang turun dari pemerintah sangat terbatas, sehingga penanganan yang dilakukan oleh pihak dinas sosialpun kurang begitu maksimal[26]
  3. Keadaan Liponsos yang kurang mendukung. Keadaan lingkungan pondok sosial (Liponsos) yang kumuh dan kotor tersebut membuat banyak pihak enggan untuk sekedar berkunjung kesana, sehingga lingkungan tidak kondusif dan membuat para penghuni Liponsos semakin bermalas-malasan dan terbiasa hidup kotor.[27]

BAB IV

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti terhadap penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Liponsos Keputih oleh Dinas SosialkotaSurabaya, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

  1. Dalam upaya penanganan terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng), Dinas Sosial Keputih Surabaya mempunyai program kegiatan diantaranya adalah : memberikan bimbingan mental, bimbingan kesehatan, bimbingan ketertiban, dan bimbingan keagamaan, serta pelatihan-pelatihan keterampilan seperti pelatihan handycraft (menyulam dan menjahit), pelatihan pertukangan kayu serta keterampilan berkebun.
  2. Adapun faktor pendukung dalam penanganan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Liposos Keputih oleh Dinas SosialkotaSurabayaantara lain adalah: 1). Mendapatkan dukungan dari banyak pihak, terutama masyarakat. 2). Mempunyai pelatih yang sesuai dengan bidangnya. 3). Mempunyai ruangan tersendiri untuk melakukan setiap kegiatan, serta 4). Lahan yang luas untuk pelatihan berkebun.

Sedangkan faktor penghambatnya antara lain adalah : 1). Terbatasnya jumlah pegawai dinas sosial. 2). para gelandangan dan pengemis (gepeng) kurang semangat dalam mengikuti kegiatan. 3). Minimnya dana dari pemerintah.

  1. Adapun relevansinya dengan dakwah pengembangan masyarakat islam adalah bahwasanya Dinas Sosial telah melakukan upaya-upaya penanganan dalam bentuk pemberdayaan terhadap para gelandangan dan pengemis (gepeng) dengan tujuan untuk memberdayakan mereka, merubah pola pikir mereka agar  tidak selalu bergantung kepeda orang lain, menggali potensi yang ada pada diri mereka yang intinya adalah menjadikan mereka berdaya dan menjadikan mereka masyarakat yang sejahtera lahir batin. Dan ini sesuai dengan tujuan dari dakwah pengembangan masyarakat yaitu mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran dan berorientasi kepada kesejahteraan lahir dan batin. Yang  direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat agar penindasan dan ketidakadilan tidak ada dalam kehidupan masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994).

Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).

Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

 

 


[1] Data diambil dari Liponsos Keputih.

[2] Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor  Indonesia, 1993), hal. 63

[3] Data diambil Liponsos kota Surabaya

[4] Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 3

[5] Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 11

[6] Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 25

[7] Ibid, hal. 12

[8] Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4

[9] Ibid, h. 15-17

[10] Hasil wawancara dengan gepeng Sumiatun (39 th) pada tanggal 18 Juni 2012

[11] Hasil wawancara dengan Sri Supatmi (45 th) tanggal 22 Juni 2012.

[12] Menurut sumber dokumen dari Dinas Sosial Keputih Surabaya proses ini merupakan program preventif.

[13] Hasil wawancara dengan Jakfar 39 Tahun, Pada tanggal 22 Juni 2012.

[14] Sri Supatmi , istilahnya berbeda konteksnya dengan pemberdayaan masyarakat dalam konteks makro.

[15] Hasil wawancara dengan Doni 31 Tahun. Pada Tanggal 22 Juni 2012.

[16] Hasil wawancara dengan Dr.Budiono (45 th) pada tanggal 22 Juni 2012.

[17] Hasil wawancara dengan Tarno (47 th) pada tanggal 22 Juni 2012.

[18] Hasil wawancara dengan Yusron (57 th) pada tanggal 22 Juni 2012.

[19]  Hasil wawancara dengan  Joyo (36 th) pada tanggal 22 Juni 2012.

[20] Hasil wawancara dengan  Sugianto (47 th) pada tanggal 22 Juni 2012.

[21] Hasil wawancara dengan  Hisyam (55 th) pada tanggal 22 Juni 2012.

[22] Menurut Sujiati (40 th) staff pegawai Dinas Sosial.

[23] ibid

[24] Menurut Darsono (42 th) pegawai keamanan Liponsos

[25] Menurut Sri Supatmi (45 th) pimpinan UPTD

[26] ibid

[27] Menurut Rika (25 th) pegawai Dinas Sosial

About illosum

seorang anak perantau kelahiran kalimantan barat, yang berusaha mencari ilmu dengan tujuan agar dapat membagun tanah kelahirannya lebih sejahterah dan diperhitungkan oleh negara sendiri maupun negara yang ada di dunia.

Tinggalkan komentar