al-Tafsir al-Wadhih

Standar

Karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi

  1. Biografi penulis

            Dalam pencarian biografi beliau tidak ditemukan data-data tentang beliau mulai lahir sampai wafatnya, ini karena dalam kitabnya al-Tafsir al-Wadih, beliau tidak menulis biografinya dan profil beliau, bahkan dengan jalan internetpun tidak dapat ditemukan biografinya. Akan tetapi ada sedikit penjelasan mengenai beliau, dia adalah merupakan salah seorang guru besar atau dosen di universitas al-Azhar, jurusan ushuluddin di Mesir.

  1. Latar Belakang Penulisan Kitab

Dalam pendahuluan buku tafsir ini beliau menuliskan kenapa beliau berkeinginan untuk menulis buku tafsir yang diberi judul dengan “Al-Tafsir al-Wadhih”, beliau mengatakan karena di dalam al-Qur’an terdapat banyak makna-makana dan rahasia-rahasia al-Qur’an yang belum terkuak dan sudah dijelaskan tetapi secara global saja.

Pada dasa warsa sekarang ini telah banyak kegiatan belajar-mengajar, maka dari itu muncullah pembelajaran yang berpokok pada dua permasalahan yaitu: Pertama, banyaknya penilitian dari kalangan peneliti tentang hubungan manusia dengan lainnya, sehingga terjadilah perbedaan-perbedaan pemahaman tehadap hukum atau peraturan-peraturan yang telah dibuat, begitu pula masih terlihat dan terdengar mereka terus memperbaharui bahkan mengganti peraturan-peraturan yang ada, setelah tahun berganti dengan tahun berikutnya mereka mengulangi pekerjaan sebelumnya dengan mengganti dan memperbaharuinya.[1] Kedua adalah bahwa banyak dari orang-orang kembali berwajah kepada al-Qur’an, seakan-akan mereka telah bosan terhadap realita yang ada, yang mana mereka berkesimpulan bahwa hukum yang dibuat belum berhasil dalam penanggulangan permasalahan-permasalahan kriminal dan belum bisa memberikan hak-hak mereka, tetapi justru sebaliknya membuat kehidupan mereka sangat buruk dan menprihatinkan, lalu mereka berwajah kembali kepada al-Qur’an dengan berkeyakinan al-Qur’an adalah sebagai jalan keluar atas segala permasalahan yang ada, yang bisa membawa mereka ke kehidupan yang bahagia dan lebih baik.[2]

Maka dari itu, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi berhasrat untuk membantu mereka dengan menulis kitab “Al-Tafsir al-Wadhih” yang bertujuan bisa menjadi alat dalam mewujudkan kehidupan yang berlandaskan terhadap al-Qur’an.

  1. Sistematika Penulisan Kitab

Al-Tafsir al-Wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi juga tidak terlepas dari tafsir-tafsir terdahulu seperti yang dikatakan beliau “tafsir ini tidak terlepas jauh dari tafsir sebelumya, seperti al-Fajr, asy-Syihab, al-Ulusi, ath-Thabari dan al-Qurthubi”.[3] secara deskriptif dan langkah-langkah yang digunakannya adalah sebagai berikut:

  1. Menjelaskan arti dari nama surat dan konten dan pokok-pokok apa saja yang ada didalamnya. Contoh: Surat al-Ikhlash dinamakan Surat al-Ikhlash karena termasuk surat tauhid dan pensucian nama Allah Ta’ala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, sampai pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.[4]
  2. Penjelasan kosa kata (Syarhu al-Mufradat) yang terdapat dalam ayat yang dirasa sulit menurut ukurannya. Dengan demikian tidak dijelaskan seluruh kosakata yang ada tetapi sebagiannya saja yang dianggap sulit. Contoh kata Ahad pada Surat al-Ikhlash diartikan sebagai: satu dalam DzatNya, SifatNya dan Af’alNya.
  3. Penjelasan (al-Idhah), pada langkah ini, beliau memberikan penjelasan yang luas dengan dibarengi asbab an-Nuzul jika ada. Terkadang beliau menjelaskan tafsir ayat dengan ayat lain dan bahkan penjelasan para ulama terdahulu yang dianggapnya baik atau shahih. Contoh pada surat al-Baqarah ayat 26-27 setelah memberikan penjelasan yang panjang lebar beliau menyebutkan sebab turunnya ayat tersebut yaitu dengan menyebut riwayat, dengan kata Ruwiya: yaitu ayat tersebut turun karena orang kafir menertawakan pemisalan dalam al-Qur’an yang berupa laba-laba.[5] Beliau juga menjelaskan ayat satu dengan ayat lain seperti surat al-Ra’du ayat 35, beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.
  4. Pada langkah terakhir biasanya beliau memberikan penjelasan pada surat yang dianggap penting atau yang bersangkutan dengan ilmu tafsir seperti apa macam surat ini Makkiyah atau madaniyyah. Contoh seperti surat al-Ikhlash di atas disebutkan bahwa syrat tersebut termasuk surat Makkiyah.

 

  1. Metode, Bentuk dan Corak Penafsiran

Dilihat dari sudut metodologi al-Tafsir al-Wadhih menggunakan metode uraian rincian dengan singkat tanpa basa-basi, hal ini bisa kita lihat dalam tafsirnya, seperti kata Allah dalam Bismillahirrahmanirrahim, beliau langsung menjelaskan Allah adalah suatu dzat yang paling tinggi.[6]

Beliau juga menggunakan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, seperti dalam menjelaskan sifat-sifat surga yang dijanjikan Allah pada surat ar-Ra’du ayat 35, beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.[7]

Kalau dilihat lebih dalam dan kritis tentang metode yang digunakannya, beliau banyak menggunakan ilmu-ilmu yang ada pada sekarang, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, historis, ekonomi budaya dan segala yang dapat membantu beliau dalam penafsirannya yang bisa diterima akal. Sebagimana beliau menyatakan bahwa surga yang dijanjikan Allah itu tidaklah seperti yang termaktub pada teks al-Qur’an, karena seandainya surga seperti itu maka kitapun pernah merasakan keenakannya di dunia ini walaupun diakhirat lebih enak.

Jika ditinjau dengan pendekatan psikologi, budaya dan historis lahirnya ayat itu, maka pendapat beliau bisa diterima, beliau menyatakan ayat ini lahir atau turun di Arab, yang mana di dataran tanah Arab itu sangatlah gersang dan jarang sekali pohon-pohon yang tumbuh dan tidak adanya sungai yang mengalir, maka dari itu Allah menggambarkan surga itu dengan sebuah perkebunan yang rindang terdapat buah-buahan yang enak ditambahkan sungai-sungai yang mengalir di dalamnya.[8] Hal ini agar teks al-Qur’an itu pas dengan bangsa itu, tetapi kalau di Indonesia itu sudahlah sangat biasa dengan perkebunan dan sungai. Oleh karena itu beliau berpendapat surga yang dijanjikan Allah tidaklah seperti yang digambarkan dalam teks tetapi surga yang dijanjikan Allah lebih dari itu.[9]

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran beliau dalam penafsirannya harus sesuai dengan akal dan sesuai dengan zamannya meskipun tidak semua ayat al-Qur’an tidak sejalan dengannya, tetapi beliau terus berusaha untuk bisa diterima oleh akal.

Contoh Dari at-Tafsir al-Wadhih

Tafsir Qur’an Surat Al-Ikhlash

Makkiyah, terdiri dari 4 ayat, surat tauhid dan pensucian nama Allah Ta’ala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, sampai pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

3. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,

4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Syarah:

Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. beliau pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tahuhid dan beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan tidak beragam. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.

Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.

Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman, “Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Artinya tidak sesuatu pun pada-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah semua nikmat-Nya. “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”

Ini merupakan pensucian Allah dari memiliki anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak memiliki anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nashrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nashrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidak-mungkinan Allah memiliki anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidak-mungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya. “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” Selama satu Dzat-Nya dan tidak beberapa, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhuk-Nya. Tidak ada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka mempersekutukan.

Meskipun singkat, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nashrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nashrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah memiliki sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.

Suratini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia memperkuat keesaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.

Analisis

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa al-Tafsir al-wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi menggunakan metode uraian rinci tetapi secara ringkas dan tanpa basa-basi. Selain itu beliau menafsirkan ayat dengan ayat lain dan berbentuk tafsir bi al-Ra’yi, akan tetapi tafsir bi al-Ra’yi ini tidak mutlak karena terkadang beliau menggunakan ayat lain dalam penjelasannya. Beliau juga yang sangat mengedepankann akal meskipun tidak menutup mata dengan dalil-dalil naqli yang ada.

Penjelasan dan bahasa yang beliau pakai dalam menafsirkan juga tidak begitu sulit sehingga dapat dengan mudah untuk dipahami, penjelasan yang rinci dan ringkas memudah untuk pembaca mencerna apa yang terkandung dalam satu ayat. Dengan analisis yang selalu mengedepankan akal apapun yang ditefsirkan beliau dapat diterima terutama bagi mereka yang sering menggunakan akal dalam memahami teks al-Qur’an.

Dilihat dari cara penafsiran beliau, kemungkinan besar beliau termasuk pada ulama tafsir yang berada pada zaman modern, terbukti dengan cara penafsiran beliau yang selalu menggunakan akal walaupun terkadang dijelaskan dengan nas yang ada dalam al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya manusia modern lebih banyak menggunakan akal dalam menerima perihal yang hendak mereka ketahui, maka dengan adanya tafsir ini, diharapakan dapat membantu mereka untuk memahami agama mereka secara kaffah.

Kemudian dengan menafsirkan kosa kata yang sulit sangat membantu dan dapat mengurangi keasalah pahaman dalam memahami agama, sehingga mengurangi kerancuan dan kekerasan yang sering di atas namakan agama hanya karena keliru dalam menginterpretasi suatu teks ayat dalam al-Qur’an. Mungkin ini juga suatu pembaharuan dalam keilmuan tafsir sehingga menjadi penting rasanya untuk lebih dalam mengkaji metode-metode baru dengan metode yang sudah ada sebelumnya, sehingga dapat menjawab tantangan zaman yang terkadang mencoba menjerumuskan agama pada lembah yang paling asing dalam keberadaannya di suatu masyarakat bahkan negara.

Dapat dikatakan pula Dr. Muhammad Mahmud Hijazi adalah orang yang jenius, karena beliau dapat mengkolaborasikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, sehingga al-qur’an yang dijadikan pijakan utama dalam islam tidak menjadi teks mati dan stagnan tanpa ada pengimplementasian yang pas dan memuaskan bagi umat islam dalam suatu negara misalnya. Namun juga di sayangkan kurangnya perhatian umat islam dalam mengkaji para tokoh yang menjadikan islam bisa lebih maju dan bermartabat lagi dalam keberadaannya di berbagai negara di dunia.

Sebenarnya akan sangat menarik apabila dapat menemukan riwayat hidup atau biografi seorang Muhammad Mahmud Hijazi ini, karena berdasarkan tafsir yang beliau karang tersebut di atas pemikiran dan cara pandang beliau yang sangat luas tentang ilmu pengetahuan sangat menarik untuk dibahas sehingga belaiu dapat menghasilkan satu karangan yang sangat bagus, yaitu al-Tafsir al-Wadhih. Demikian analisis yang dapat saya tuliskan pada makalah ini.

Refrensi

Mahmud Hijazi, Muhammad. Tt.  Al-Tafsir al-Wadhih. Bairut: Darul-Jail Lebanon

http://tafsir-bahasaarab.blogspot.com/2011/12/at-tafsir-al-wadhih.html 31 05 2012 jam 10.57


[1] Muhammad Mahmud Hijazy, Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 1 (Bairut : Darul-Jail, tt), 5.

[2] Ibid, 6.

[3] Ibid, 5.

[4] Muhammad Mahmud Hijazy, Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 9 (Bairut : Darul-Jail, tt), 129.

[5] Muhammad Mahmud Hijazy, Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 1 (Bairut : Darul-Jail, tt),17.

[6] Ibid, 10.

[7] Ibid, 237.

[8] QS: Muhammad: 15

[9] Ibid

About illosum

seorang anak perantau kelahiran kalimantan barat, yang berusaha mencari ilmu dengan tujuan agar dapat membagun tanah kelahirannya lebih sejahterah dan diperhitungkan oleh negara sendiri maupun negara yang ada di dunia.

Tinggalkan komentar